1. Startup

Famous Allstars: "Creator Economy" Indonesia Belum Capai Puncak Pertumbuhan, Ruang Eksplorasi Masih Besar (Bagian I)

DailySocial berbincang eksklusif dengan Co-CEO Famous Allstars (FAS) Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani

Bagi Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani, industri creator economy Indonesia saat ini tengah memasuki periode yang mendebarkan. Mengapa? Perkembangannya begitu cepat, pasarnya sangat antusias, dan ada banyak ruang yang dapat dieksplorasi, baik dari sudut pandang kreator, inovator, hingga pemilik brand. 

Mereka punya pandangan demikian mengingat Famous Allstars atau FAS bukanlah pemain baru di industri ini. FAS telah lama menyaksikan perkembangan creator economy, dari ketika model monetisasinya masih konvensional hingga sekarang di mana kreator semakin independen berkarya.

Jika mengikuti perjalanannya, FAS berdiri dari penggabungan bisnis antara Famous dan Allstars pada 2019 silam. Famous menaungi channel-channel konten kreatif popular Indovidgram, KokikuTV, Avenu, dan Indovidgram pada 2012-2015. Sementara, Allstars adalah platform yang menghubungkan brand dengan influencer. FAS juga menerima pendanaan dari perusahaan konglomerasi media EMTEK Group dan bersinergi dengan RANS Entertainment di 2021.

Di sesi eksklusif ini, DailySocial merangkum obrolan panjang bersama Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani terkait lanskap industri, monetisasi, hingga rencana bisnisnya tahun ini. Selengkapnya, kami sajikan dalam dua bagian.

Creator economy punya definisi luas sehingga ada anggapan influencer juga termasuk di dalamnya. Bagaimana Anda mendefinisikan kedua hal ini?

Alex (Al): Definisi influencer sesuai terjemahannya: seseorang yang memberikan pengaruh lewat kreasinya. Karena teknologi bergerak dengan cepat, terminologi itu--at least dari sudut pandang saya--menjadi sedikit insignificant.

Dulu influencer tidak exist di awal kami membangun bisnis ini. Seiring berjalannya waktu [konteks: influencer mulai populer], terminologi ini semakin berkurang. Influencer ingin disebut sebagai kreator. Kenapa? Karena mereka merasa menghasilkan sesuatu dan bentuknya bisa berbagai macam. Biasanya dulu kreator identik dengan hasil karya seni, sekarang berbeda. Konten video pendek bisa dikatakan sebagai kreasi. Jika hari ini, saya membuat konten digital di Instagram, YouTube, atau TikTok, saya bisa sebut diri sebagai kreator.

Creator economy ini menarik karena siapa saja dapat menjadi kreator dan influencer. Yang membedakan adalah skala dan kemampuannya. Bisa jadi saya kreator, tetapi skala kreativitasnya masih kalah dari kreator lain.

Contoh, istilah livestreamer pasti akan lebih besar lagi di masa depan. Apakah livestreamer disebut influencer atau content creator? Tentu bisa. Akan tetapi, livestreamer mungkin punya skillset berbeda dengan influencer karena influencer belum tentu bisa livestreaming. Sementara, influencer mungkin punya kemampuan copy writing yang baik, tetapi belum tentu bisa live selama satu jam. Youtuber belum tentu bisa livestreaming, karena kontennya sebagian besar recorded, bisa diulang, atau diedit.

Seniman menggambar nanti mungkin bakal dikenal sebagai NFT artist dalam 2-3 tahun lagi. Terminologinya berubah karena creator economy membentuk sebuah identitas dan lapangan kerja yang baru. Jadi, terminologi [baru] akan terus muncul seiring waktu karena industri creator economy akan semakin luas.

Di era kehadiran Web3, saat ini industri creator economy Indonesia ada di fase apa?

Arief (Ar): Saya pernah mengikuti talkshow yang diisi oleh Li Jin, Founder dan General Partner Atelier Ventures. VC ini banyak berhubungan dengan [startup] creator economy. Dalam paparannya, dia sebut ada empat fase creator economy.

Pertama, creator economy versi 1.0 itu ketika internet hadir di mana [setiap] individu bisa menjadi kreator. Lalu, di versi 2.0 kreator bisa reach [audiens] lewat platform. Di fase ini, kreator punya follower dan monetisasi lewat advertising dan sponsorship, yang mana [model ini] sedang banyak di Indonesia. Pada era 3.0, kreator menjadi independent business dan monetisasi langsung dari fans mereka. Nantinya akan ada creator economy 4.0 di mana kreator dan fans bisa berkolaborasi untuk membuat kreasi atau usaha bersama-sama.

Dengan kemunculan Web3, bukan berarti creator economy 2.0 ini langsung ditinggalkan. Di fase ini, influencer menjadi content creator atau sebaliknya, akan terus berkembang. Kami melihat industri creator economy akan berevolusi. Seberapa cepat? Tergantung dari pasarnya. Tiongkok dan Amerika Serikat sudah menjadi kiblat untuk layanan livestreaming. Di sini, we just started. Banyak teman-teman di industri ini yang membuat platform untuk livestreaming, seperti GoPlay. It’s a very exciting industry we are in.

Famous Allstars juga mengeksplorasi apa yang dapat diakukan di fase ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi di masing-masing fase, baik Web2 maupun Web3. Misalnya, apa yang dapat kami lakukan di influencer marketing? Apa yang dapat kreator lakukan dengan IP di Web3? Kami sudah melihat potensi itu dan sudah menghasilkan sesuaty. Especially di Web2 dan Web3, we are going to have exciting projects.

Posisi FAS saat ini sangat strategis karena kami sudah lama terjun di industri creator economy. Kami tahu ke mana, kami buat web series, kami tahu bagaimana cara memindahkan IP ini ke NFT. Ini menjadi menarik karena IP dari kreator harus dihargai, ownership itu sangat penting

Al: Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan teknologi di Indonesia sangat masif. Penetrasi internet sudah capai 70 persen dan penetrasi smartphone Indonesia terbesar keempat di dunia. Populasi kita besar.

Sebetulnya, influencer atau content creator kita sudah mulai dari 7-8 tahun lalu, tetapi infrastrukturnya belum matang. Sekarang smartphone dan paket data semakin murah. Ditambah populasi kita yang besar dan beragam. Faktor-faktor ini sangat signifikan untuk mendorong pasar creator economy di Indonesia.

Memang, industri creator economy 3.0 comes early di Indonesia. Bahkan era 2.0 saja belum mencapai puncak pertumbuhan (peak growth) di sini. Karena hal ini, seolah-olah ada overlap antara Web2 dan Web3 di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kreator 3.0 akan menjadi pemain baru? Apakah kreator 2.0 harus convert ke 3.0? Jawabannya, tidak ada yang tahu. Menurut saya, Web3 masih sangat luas dan bisa berkembang cepat, tetapi use case-nya belum settle.

Poin utamanya, Web2 masih terlalu jauh [di Indonesia] sehingga potensi pasarnya, tanpa perlu jump ke Web3, masih akan tumbuh signifikan. It’s a very exciting moment ahead karena nanti kreator tak hanya bisa membuat karya, tetapi juga punyai Intellectual Property (IP). For now, it’s too early to tell.

Web2 masih akan tumbuh dengan cepat di Indonesia dalam lima tahun ke depan. Dari sisi supply, jumlahnya akan terus bertambah, meski belum ada data dari sisi demand. Kami meyakini pasar influencer capai Rp3 triliun, inipun merupakan conservative number. Brand masih menghabiskan budget di media konvensional. Jadi, supply dan demand kita belum peak.

Monetisasi karya di era Web3 menjadi lebih independen. Apakah brand deals masih akan relevan bagi kreator?

Al: Ada dua sumber monetisasi kreator. Pertama, brand kerja sama dengan kreator dalam bentuk apapun, baik itu ulasan, post, eksposur, talent, atau livestreaming. Sebagai perbandingan, livestreaming di Tiongkok dibayar per penjualan (pay per conversion). Di Indonesia, model ini belum ada, masih di bayar di muka. Intinya, the money comes from brands. Kedua, kreator kini bisa monetisasi dari fans atau Direct-to-Consumer (D2C). Contohnya, ada platform yang memampukan fans untuk kasih donasi ke kreator, bukan dari brand. Jadi, model monetisasi, baik dari brand maupun fans/audiens tidak akan hilang. Bahkan, ketika bicara potensi pasarnya, justru brand deals akan semakin besar.

Bagi kreator, ini justru menjadi exciting period karena revenue channel-nya bertambah. Dulu cuma andalkan brand, sekarang kreator bisa langsung monetisasi dari fans. Bagi seorang gamer, livestreaming dengan model donasi mungkin cocok untuk mereka. Tapi lima tahun lalu, mereka belum berpikir [hobi gaming] dapat menjadi sebuah profesi. I believe dari angle [monetisasi] manapun, the industry will get bigger. 

Ar: Bagi brandcreators give another marketing channel yang menarik. Mereka melihat bagaimana kreator membuat review secara organik atau memengaruhi teman-temannya untuk membeli sebuah produk. Ini pasti akan berkembang. Artinya, kesempatan [kolaborasi] dan revenue channel akan semakin besar seiring berkembangnya Web3. Bukan berarti Web2 hilang begitu saja. Justru Web2 dan Web3 bisa saling bergandengan tangan, ada interpendensi.

Ada 120 ribu influencer di platform kami, di mana mayoritas adalah influencer nano dan mikro dengan follower 1.000an hingga 100 ribuan. Kami tidak ingin hanya milking potensi pasar, tetapi juga mengembangkan sumber dayanya.

Bagaimana peran Anda dalam menentukan model monetisasi yang tepat bagi kreator?

Al: Famous Allstars tidak ikut menentukan harga jual kreator, tetapi penting memastikan bahwa kreator dan brand dapat bertransaksi aman di platform kami. Kita tahu pasti ada kekhawatiran. Dari sisi kreator, brand tidak membayar konten yang sudah dibuat. Begitu juga dengan brand, kreator ingin dibayar di muka, tetapi brand khawatir kontennya tidak dikerjakan.

Di platform ini, pembayaran baru akan diteruskan apabila kreator telah menyelesaikan pekerjaan sesuai brief dari brand. Demikian juga kreator, ada rasa aman bahwa mereka akan dibayar karena sistem pembayarannya melalui platform. Begitu pekerjaan selesai sesuai arahan, kreator akan menerima pembayaran. Jadi, tidak perlu tagih terus-terusan ke brand. Jadi, ini bukan soal menentukan monetisasi, tetapi bagaimana membuat ekosistem untuk memfasilitasi pelaku creator economy. 

Di samping itu, pasar creator economy di Indonesia masih sangat besar. Kami tidak ingin mendorong kreator existing saja. Justru perlu nurturetalent-talent baru di masa depan. Banyak orang punya talent, tetapi belum ketemu dengan ekosistem dan wadah yang tepat. FAS berkomitmen untuk menemukan itu.

Bagaimana pandangan Anda mengenai regulasi untuk mewadahi industri creator economy di Indonesia?

Al: Ini masih early talk, tetapi kami berencana untuk bentuk asosiasi [creator economy]. Saya dan Arief secara paralel mulai bergerak untuk merangkul teman-teman di industri ini. Kami berupaya mengesampingkan business views. Kami sadar semakin besar industrinya, akan semakin baik buat pemain.

Kami lakukan ini sebelum bicara kebijakan. I think the first and foremost agenda adalah mengedukasi industri ini, baik itu soal potensi kreator, hak-hak yang diperoleh kreator, hingga bagaimana mengatasi sebuah masalah. Semua punya tujuan sama untuk edukasi industri.

Edukasi ini tak cuma kreator saja, tetapi juga brand. Di antara agency saja, selama ini belum ada standard rules. So, it's a jungle out there. Industri ini berkembang sangat cepat, tapi pertumbuhan cepat tanpa dibatasi guide yang tepat bisa membuat industri chaos. Jadi, kami rasa penting bagi pemain lama untuk ikut edukasi sehingga pemain baru bisa belajar dari kesalahan-kesalahan kami tujuh tahun lalu. Kreator bisa belajar dari kreator yang sudah tumbang

Ar: Di FAS, kami juga melakukan edukasi, baik terkait konten, hak-hak kreator, Intellectual Property, hingga perpajakan. Tapi, kami ingin edukasi ini bersama stakeholder lainnya sehingga tidak dilakukan dengan cara sendiri. Apabila tidak ada keseragaman, industri creator economy bisa terkotak-kotakan.

Alangkah baiknya semua stakeholder bisa saling bekerja sama. Industri akan menjadi lebih kuat, kesempatan akan lebih besar tanpa adanya pagar yang bisa bikin sustainability industri berkurang. Bagaimanapun juga content creator is not just a banner, it's a human being. Perlu ada trust dan kredibilitas.

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again