1. Startup

Pendanaan di Q3 2023 Menggeliat, Tech Winter Mulai Mereda?

Tech winter berdampak pada pengetatan proses due diligence dan penyesuaian metriks startup

*update: kami melakukan pembaruan terkait quote yang disampaikan Gani Lie terkait investasi di climate tech (ditandai dengan bold)

Nilai pendanaan startup Indonesia pada Q3 2023 mengalami peningkatan dibandingkan dua kuartal sebelumnya. Menurut data yang dihimpun DSInnovate dalam Indonesia's Startup Handbook, pada kuartal ini dibukukan pendanaan ekuitas sekitar $501,6 juta dari 38 transaksi. Sebelumnya ekosistem tanah air hanya mendapatkan $376,7 juta pada Q1 dan $330,2 juta pada Q2.

Peningkatan ini memberikan indikasi positif bagi industri, mengingat pada paruh pertama tahun ini (H1) terjadi penurunan 74% secara yoy. Penurunan tersebut menjadi salah satu dampak dari tech-winter, tidak hanya di Indonesia namun juga seluruh dunia. Gejolak ekonomi makro membuat para investor mengerem kucuran arus dana ke startup (khususnya tahap lanjut).

Perbaikan di Q3 tentu menjadi sinyal positif bagi ekosistem, namun apakah ini menjadi indikasi kuat bahwa tech-winter akan segera berakhir dan iklim investasi startup akan kembali normal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial.id mencoba berbincang dengan sejumlah pemodal ventura yang aktif berinvestasi ke startup lokal, yakni AC Ventures, East Ventures, Mandiri Capital Indonesia, dan MDI Ventures.

Meninjau kondisi perekonomian

Mengawali perbincangan, Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mencoba mengulas tentang kondisi perekonomian. Dari data yang dihimpun, perekonomian global dinilai masih belum menentu akibat inflasi yang tinggi dan kondisi geopolitik. Hal ini menciptakan sejumlah tantangan bagi perekonomian di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya, termasuk bagi startup digital. Kondisi ini diprediksi akan masih terjadi setidaknya sampai akhir tahun ini.

Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca / East Ventures

Pada tahun 2024, ekonomi ASEAN diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,5% ---lebih tinggi daripada ekonomi global. Inflasi di kawasan ini juga terkendali. Negara-negara ASEAN dapat mempertahankan tingkat suku bunga dan depresiasi mata uang mereka. Fakta ini menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki ketahanan terhadap tantangan global. Pertumbuhan ekonomi ASEAN terus menjadi tempat yang ‘cerah’ dan ‘langka’ di tengah pasar global. Oleh karena itu, ASEAN akan menjadi pusat pertumbuhan.

Indonesia memiliki posisi yang tepat untuk memimpin pertumbuhan ini sebagai negara dengan populasi terpadat keempat di dunia, dengan penduduk berusia muda yang terus bertambah dan penetrasi internet yang tinggi. Bank Indonesia turut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran 4,5-5,3% dengan inflasi turun ke 3,0 ± 1% di 2023.

Secara keseluruhan, ekonomi digital Indonesia diproyeksikan meningkat 19% per tahun hingga 2025 didorong oleh potensi penetrasi internet yang belum mencapai puncaknya, populasi unbankable yang besar, serta peluang inovasi yang masih dapat dieksplorasi. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai $290 miliar dengan cepat di beberapa tahun mendatang.

“Secara singkat, kami melihat tahun 2023 masih melambat, tahun 2024 akan ada pemulihan secara bertahap. Oleh sebab itu, saran dari kami, startup harus dapat bertahan (mempunyai runway) hingga tahun 2025,” ujar Willson.

Ia melanjutkan, “Di tengah ketidakpastian global, transisi kepemimpinan regional, serta kelangkaan alokasi dana untuk perusahaan swasta, East Ventures akan tetap bijaksana dan optimis dalam berinvestasi di kawasan ini. Pada paruh pertama tahun 2023, East Ventures telah menyalurkan dana sebesar $56,6 juta ke startup tahap awal (seed) dan lanjutan (growth).”

Tech-winter masih belum usai

Head of Investment MDI Ventures Gani Putra Lie menuturkan, bahwa tech-winter masih belum usai. Dibanding selama puncak pandemi, aktivitas investasi telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Menurutnya, aktivitas investasi tahun 2023 telah kembali ke era 2017-2018, khususnya untuk wilayah Asia Tenggara dan Indonesia.

Head of Investment MDI Ventures Gani Putra Lie / MDI Ventures

Tech-winter utamanya disebabkan oleh kenaikan suku bunga Bank Sentral yang telah membuat obligasi negara lebih menarik untuk diinvestasi dibandingkan perusahaan modal ventura. Implikasinya, pasokan modal yang lebih kecil menghasilkan tingkat investasi yang lebih rendah. Efek domino lain dari kenaikan suku bunga adalah penilaian yang lebih rendah, karena sebagian besar investor menggunakan model DCF (Discounted Cash Flow) untuk menilai bisnis [dalam model DCF jika suku bunga naik, penilaian turun].

"Kita telah melihat peningkatan jumlah investasi pada teknologi iklim (climate tech) di Asia Tenggara dengan jumlah investasi yang meningkat dari $2 miliar antara tahun 2014-2021 menjadi $1,2 miliar pada tahun 2022 saja. Pada tahun 2023, investasi teknologi iklim menyumbang 7,8% dari total investasi di Asia Tenggara (vs 0,6% pada 5 tahun lalu)," jelas Gani.

Ia turut menyoroti tren peningkatan yang terjadi akhir-akhir ini, "Nilai investasi mungkin telah meningkat baru-baru ini, tetapi itu terdiri dari beberapa transaksi pendanaan tahap akhir (sekitar 5-6 perusahaan menyumbang lebih dari 60% dari total nilai transaksi). Jumlah transaksi terus mengalami penurunan sejak H1 2022. Investor global sangat mengurangi investasi mereka di Indonesia dalam beberapa kuartal terakhir. Ini bukan berarti mereka telah sepenuhnya menarik diri, tetapi mungkin melambat dan mengevaluasi ulang strategi mereka.”

Lebih banyak waktu untuk due-diligence

VP of Investment AC Ventures Alvin Cahyadi / AC Ventures

AC Ventures diwakili oleh Alvin Cahyadi selaku VP of Investment juga sependapat bahwa tech-winter masih berlangsung saat ini, kendati investor confidence tampak membaik. Atas dasar situasi ini, ia mengatakan saat berinvestasi para investor kebanyakan membutuhkan waktu lebih untuk melakukan due diligence, terutama dari segi validasi pasar. AC Ventures sendiri akan melihat apakah suatu perusahaan dengan model bisnisnya tersebut 'masuk akal' untuk mencapai profitabilitas dalam skala tertentu.

Di sisi lain, menurut Alvin para founders juga tampak sudah  beradaptasi dengan perilaku investor. Founder saat ini lebih memilih untuk bisa mencapai break-even agar tidak tergantung kepada injeksi dana tambahan.

"Dari segi portofolio, kami menjadi lebih menekankan pada governance, seperti rutin melakukan audit, management report setiap bulan, dan juga transparansi bank account. Harapan kami adalah  bisa menjadi katalis bagi para founder di portofolio kami untuk membentuk habit dalam monitoring keuangan perusahaan [..] Kami memiliki preferensi untuk berinvestasi pada suatu bisnis yang sudah memiliki revenue, meskipun masih kecil," ujar Alvin.

CIO Mandiri Capital Indonesia (MCI) Dennis Pratistha juga sepakat bahwa investor tetap akan aktif untuk berinvestasi dengan proses yang selektif dan prudent dalam memilih startup. MCI sendiri selalu mencari startups yang memiliki product market fit dan path to profitability yang jelas di dalam sektor apa pun yang dinilai memiliki potensi yang besar.

Ia juga berpendapat bahwa sekarang investor melihat dua aspek dari finansial startup, yaitu top line dan bottom line. Dari sisi top line, investor melihat seberapa cepat revenue dari perusahaan meningkat dan juga peningkatan contribution margin-nya. Namun, top line yang baik harus diiringi dengan bottom line yang sehat. Bottom line tidak harus positif, namun harus sudah memiliki path to profitability yang jelas.

Hal serupa juga dilakukan oleh MDI Ventures. Menurut Gani, sampai saat ini mereka belum sepenuhnya mengubah pendekatan dalam berinvestasi. Tetapi mereka mengaku telah meningkatkan parameter keputusan investasi dengan melakukan analisis yang lebih mendalam terhadap bisnis dan strateginya. Beberapa tolok ukurnya ditetapkan pada sejumlah metriks seperti unit ekonomi yang solid, validasi model bisnis, potensi dukungan strategis, dan penambahan nilai.

Tantangan berikutnya

CIO Mandiri Capital Indonesia Dennis Pratistha / MCI

Menurut Dennis, tech-winter ini bukan hanya sebuah kejadian sementara, melainkan merupakan fenomena yang mungkin akan menjadi tantangan bagi para investor di masa depan. Oleh karena itu, ia menilai bahwa tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan modal ventura termasuk keterbatasan dalam mendapatkan sumber investasi dari startup yang layak, ketidakakuratan data yang disediakan oleh startup karena biasanya dokumen mereka tidak diaudit, perlunya menjaga kesehatan portofolio secara keseluruhan, kesulitan dalam mencapai exit yang memadai, serta kesulitan dalam mengumpulkan modal dari investor (LP).

More Coverage:

Sementara dari sudut startup, Alvin menilai tantangan terbesarnya untuk membentuk institusi yang memungkinkan founder mengesampingkan kepentingan pribadi dan mulai fokus dalam membentuk sebuah organisasi yang sehat. Founder pada suatu tahap harus belajar untuk menerima bahwa perusahaan harus ditangani secara profesional. Selain itu, tantangan berikutnya adalah mencari ekspansi bisnis dari bisnis yang sudah ada, agar bisa menjaga tingkat profitabilitas perusahaan. Pada akhirnya, perusahaan teknologi dipandang harus bisa lebih besar dari perusahaan tradisional.

Tidak akan berhenti berinvestasi

Kendati ada perlambatan secara industri, Willson dan tim East Ventures percaya bahwa ritme (cadence) dalam berinvestasi merupakan hal yang penting. Ia mengibaratkan seperti pemain bulu tangkis yang harus terus bermain agar tetap tangkas, investor juga harus terus berinvestasi agar dapat merasakan ritme pasar dan mengambil keputusan yang tepat.

“East Ventures tidak pernah berhenti berinvestasi. Kami tidak peduli apakah hari ini cerah atau hujan, kami akan tetap berinvestasi pada founder yang bagus dan berhenti berinvestasi jika tidak ada lagi founder yang bagus untuk diinvestasikan.  Kami telah melihat peningkatan kualitas para founder dari waktu ke waktu.  Mereka dapat membangun bisnis yang sukses lebih cepat dari sebelumnya. Waktu untuk meningkatkan skala bisnis digital di Asia Tenggara telah dikompresi dan dipercepat,” ujar Willson.

Beberapa strategi yang diterapkan selama krisis Covid-19 dapat digunakan oleh founder untuk menghadapi krisis pendanaan saat ini. Strategi-strategi tersebut berbeda untuk setiap tahap, termasuk tahap awal dan lanjutan. Saat ini, 40% dari perusahaan portofolio tahap lanjutan East Ventures memiliki EBITDA positif. Misalnya, Fore Coffee, startup ritel kopi, telah mencatatkan EBITDA positif sejak Q3 2021 dan akan memperluas operasinya di Singapura pada Q4 2023.

“East Ventures masih memiliki dana yang cukup untuk terus berinvestasi dan mendukung perusahaan portofolio kami, dan kami sangat berhati-hati dalam menghadapi krisis kedua ini setelah krisis pandemi Covid-19,” tutup Willson.

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again