1. Startup

Ryan Gondokusumo Buka-Bukaan Perjalanan Sribu Capai Profitabilitas

Sribu sempat "bakar uang" sejak 2012-2016, bereksperimen dengan produk, hingga memutuskan kejar keuntungan pada 2017

"Akhirnya, saya bisa tidur nyenyak setelah memutuskan untuk mengejar profitabilitas," Founder Sribu Ryan Gondokusumo.

Bagi Ryan, mengejar pertumbuhan dan fundraising bak pertunjukan tiada akhir. Enam tahun ia lalui sebagai solo founder bukanlah hal yang mudah. Apalagi, ia mengakui di awal industri startup berkembang di Indonesia, sempat terdoktrin bahwa startup harus terus mengejar pertumbuhan.

Berbincang dengan DailySocial.id, Ryan menceritakan bagaimana perjalanan startupnya menuju profitabilitas. Selama enam tahun, Sribu mencari 'bensin modal' dari penggalangan dana, yang mana bagi Ryan adalah sebuah proses kompleks dan memakan waktu.

Sribu adalah startup penyedia jasa freelance dan crowdsourcing desain. Didirikan oleh Ryan Gondokusumo pada 2011, Sribu menjadi saksi pertumbuhan digital tanah air lebih dari satu dekade. Sribu berada di fase di mana saat itu hanya ada tiga venture capital saja yang berinvestasi di startup.

Sumber: Sribu

East Ventures adalah investor perdana Sribu pada 2012. Pada 2014 dan 2018, Sribu memperoleh pendanaan dari Asteria (sebelumnya Infoteria Corporation) dan CrowdWorks.

"Sebelum mengamankan pendanaan dari Asteria, saya sempat bicara dengan 80 VC selama satu setengah tahun. Sangat time-wasting."

Eksperimen hingga kejar profit

"Saya merasa sampai kapan harus kejar growth. Kalau begini terus, minimal harus punya 2-3 co-founder. Sementara, saat itu saya sendiri. Baru dipertemukan dengan co-founder di tahun ketujuh kami beroperasi, yang kini memegang posisi CTO," tuturnya.

Ia mengaku aksi bakar duit kerap berlangsung sejak 2012-2016. Sebelum melakukan penggalangan ketiga pada 2018, Sribu sempat bereksperimen; (1) memisahkan Sribu dan Sribulancer; serta (2) mengembangkan asisten virtual Halo Diana.

"Memisahkan Sribu dan Sribulancer adalah kesalahan. Saat itu, saya pikir pasar Sribu dan Sribulancer masih kecil. Saya bicara tanpa data. Kesalahan ini kami tebus dua tahun berhenti pengembangan fitur, cuma fokus mergering platform. Ini sulit karena portofolio kami sudah banyak sekali saat itu, datanya sangat besar," ungkap Ryan.

Saat ini, Sribu telah melayani lebih dari 30 ribu klien dari 50 sektor industri. Jumlah freelancer mencapai 30 ribu, satu pertiganya adalah pengguna aktif.

Dari kisah pemisahan Sribu dan Sribulancer, Ryan dan timnya memutuskan mengembangkan asisten virtual bernama "Halo Diana". Namun, lagi-lagi gagal dan tidak ada cukup resource untuk mengeksekusinya. Ryan masih berpikir untuk terus mengejar pertumbuhan sampai akhirnya modal menipis.

Tahun 2017 menjadi pivotal bagi Sribu karena di tahun itu perusahaan memutuskan arah navigasinya ke profitabilitas. Ryan berujar saat itu startup kesulitan mencari investor. Alasan lainnya, Sribu juga ingin scale up bisnisnya untuk melayani proyek lebih besar di segmen B2B.

"Pada tahun 2017 onward, kami sudah mengantongi keuntungan bersih. Kemudian, kami mendapat pendanaan dari CrowdWorks pada 2018. Saat itu, spending kami fokuskan untuk marketing, bukan hiring.

Akuisisi dan redefinisi bisnis

Akuisisi Sribu oleh Mynavi Corporation menjadi tonggak perjalanan selanjutnya untuk meredefinisi bisnisnya, yakni meningkatkan standar talenta Indonesia sebagai fokus baru.

"Kami menentukan kembali ke mana arah model bisnis kami. Saat ini, fokus utama kami ada di lima kategori. Kami berdiskusi dengan Mynavi, apakah mau masuk ke segmen blue collar, kategori lain, atau masuk ke konsultasi bisnis," tuturnya.

Sumber: Sribu

Sribu akan meningkatkan level bisnisnya dengan menentukan standar emas; mengurasi satu per-satu dari total 30.000 freelancer, serta bertahap melakukan sertifikasi dan spesialisasi. Kurasi ini juga dalam rangka meningkatkan kualitas freelancer Sribu sejalan dengan rencana ekspansinya ke luar negeri dalam 2-3 tahun ke depan.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja lepas di Indonesia telah mencapai angka 34 juta orang pada 2022.

Kepemilikan saham Sribu kini dikuasai mayoritas oleh Mynavi Corporation, menandakan pengambilan keputusan harus sangat diperhitungkan. Namun, ungkap Ryan, bukan berarti akuisisinya memengaruhi pengambilan keputusan maupun spending bisnis.

"Meski Mynavi adalah korporasi dan sangat hierarki, kami tidak ingin culture itu masuk karena bisa slow us down. Keputusan tetap ada di kami. Proses akuisisi memakan waktu dua tahun sehingga kami punya understanding lebih baik."

Belajar dari kesalahan

Tujuh tahun perjalanannya menuju titik profitabilitas, Ryan menyebut tiga kesalahan yang ia pelajari saat membangun Sribu.

  1. Selalu mengandalkan data Pengembangan produk/layanan baru, atau pengambilan keputusan strategis tidak bisa berlandaskan perasaan. Selalu memantau perubahan atau tren baru untuk lebih memahami pasar juga wajib dilakukan. "Semua harus berbasis data. Apakah market size bankable, misalnya? Karena revenue model kami jelas, kami tahu how to make money," ujarnya.
  2. Tak perlu ikut-ikutan Halo Diana adalah salah satu kegagalan yang terjadi pada pengembangan bisnis Sribu. Halo Diana tidak berlanjut karena tidak product-market fit, dan berakhir sebagai produk yang nice to have saja. "Jangan sampai ikut-ikutan membuat satu produk hanya karena perusahaan lain punya. Tekanan dari kompetitor pasti akan selalu ada. Fokus pada bisnis."
  3. Pahami kapabilitas sendiri Jika ingin terus-menerus mengejar pertumbuhan, pahami sejauh mana kemampuan sumber daya yang dimiliki. Enam tahun menjadi solo founder, Ryan memutuskan untuk fokus mengejar profitabilitas demi keberlangsungan perusahaan.
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again